Kamis, 01 Desember 2011

Sosiologi Gender (Kesetaraan Perempuan Dalam Bidang Politik)

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Dalam era reformasi ini terbuka lebar bagi setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemeintahan. Dengan adanya pembaharuan hukum, pemberdayaan perempuan dalam pembangunan dibidang politik teleh mewujudkan dengan terpilihnya seorang perempuan sebagai presiden yang juga selaku kepala negara memegang kepemimpinan. Bangsa dan negara Republik Indonesia yang kita cintai merupakan kebanggaan kita bersama.
Perkembnagan peradaban di dunia barat dan timur yang semula tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi patriarki telah terkikis dengan meninggalakan dampak negatif  diberbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan ketimpangan gender.
Kebudayaan global tengah mendesak kepentingan kesetaraan gender keseluruhan dunia termasuk Indonesia. Tidaklah mungkin diingkari telah melupakan pemahaman kuno yang memandang permpuan secara kodarati hanyalah ”konco wingking” belaka tetapi masih diharapkan kewajiban domestik dapat terulangi bersama secara kesejahteraann serta dengan berbagai peran dalam keluarga yang sejahtera. Bahwa kemampuan sama sekali tidak terkait dengan jenis kelamin, tetapi kehidupan publik mensyaratkan kualifikasi tersebut bilamana kesempatan dimungkinkan. Prinsip dasar konfensi wanita adalah persamaan substansif, non diskriminasi, dan prinsip kawajiban negara.
Peraturan hukum yang bersifat diskriminasi pada zaman kolonial telah menghambat perkembangan bagi pembardayaan perempuan. Bias gender masih terasa dalam substansi hukum positif, meskipun pemerintah sudah mendatangani sejumlah konvensi yang mengatur hak-hak perempuan. Memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender sudah menjadi arah kebijakan hukum pemerintah. Perubahan nilai sosial yang diawali dengan perkembangan proses industrialisasi dan kemajuan teknologi informasi membawa dampak positif menuju kesetaraan gender.
Peran yuresprudensi yang berspektif gender, seharusnya dimanfaatkan secara optimal untuk pemberdayaan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Keberhasilan pemberdayaan perempuan dimaksud sepenuhnya tergantung pada pelaksanaan penerapan dan penegak hukum yang diperankan oleh aparat penyelenggara negara dan penegak hukum  yang diperankan oleh kaum perempuan sendiri
Keterpinggiran perempuan bukan hanya konstruksi sosial yang terlanjur tidak benar, tetapi justru akibat konstruksi sosial yang ada itulah yang menyebabkan perempuan menjadi masyarakat kelas dua di berbagai aspek kehidupan. Termasuk bila perempuan di kaitkan dengan Politik. Walau sesungguhnya antara politik dan perempuan adalah dua hal yang amat berbeda.
Kondisi di lapangan partisipasi warga negara ”perempuan” dalam bidang politik masih rendah  atau lemah. Walaupun secara eksplisit pasal 27 dan 28 UUD 45 telah mengatur kedudukan, hak dan kewajiban warga negara di mata hukum dan pemerintahan. Secara kuantitatif  masih  sedikit sekali perempuan secara aktif terlibat dalam bidang politik. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa politik adalah dunia publik dan dunianya kaum laki-laki. Politik dianggap penuh persaingan dan kejam dan sedikit perempuan yang tahan untuk memesuki dunia publik seperti politik, sedang perempuan sendiri diperankan atau memerankan dirinya di dunia domestik.
Disisi lain pertisipasi perempuan lemh meskipun perempuan berhasil mempertahankan posisinya di arena politik, mereka kurang terlihat memiliki jaringan pendukung untuk membelanya, mereka minim keterampilan, minim keterampilan dan sering sekali lebih menjadi pertimbangan gender daripada kekuatan politik sehingga peningkatan SDM perempuan disegala bidang kehidupan, terutama bidang politik merupakan hal yang tidak ditawar lagi. Konstruksi gender yang telah dibentuk oleh masyarakat kurang memberikan kesadaran perempuan untukmenyampaikan pendapatnya secara terbuka akibatnya perempuan cenderung pesimis, pasif, dan apatis.

  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas memunculkan beberapa masalah yang timbul diantaranya
  1. Bagaimana hak berpolitik bagi perempuan?
  2. Bagaimana partisipasi perempuan dalam bidang politik ?
  3. Bagaimana  posisi perempuan di parlemen Indonesia terhadap kaum laki-laki dalam kancah politik?

 BAB 2
PEMBAHASAN
  1. Perempuan dan Politik
Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem tersebut dan bagaimana melaksakan tujuannya. Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
Politik (poltics) didefinisikan sebagai segala usaha , kegiatan dan upaya yang bertujuan mempengaruhi proses kebijakan dan perundangan dalam hal isu-isu perempuan. Ada juga yang mendefinisikan sebagai ”politic as Art and Sciencce” suatu seni dan ilmu dalam mencapai tujuan tertentu.  Di indonesia sejak tahun 1987 telah memasuki isu perempuan dalam agenda politik. Isu-isu yang dimaksudkan ialah kebijakan yang berkaitan langsung dengan perempuan, seperti kesehatan, perkawinan, pendidikan, dan segala aspeknya. Hal ini tidak sejalan dengan budaya patriarki masih dominan dalam kehidupan masyarakat kita.
Dalam tradisi patriarkhi pada umumnya, di Indonesia pada khususnya, dunia politik  dikategorikan sebagai dunia laki-laki oleh karenanya, dunia perempuan tersingkir dari dunia tersebut. Kaum laki-lakilah yang menetapkan memutuskan berbagai kebijakan dan perundangan dari dunia tersebut. (Macioni,1987:Susanto,1993:Suryokumuro,1992). Kaum laki-lakilah yang menetapkan dan memutuskan berbagai kebijakan dan perundangan yang termasuk  menyangkut hak-hak dan kepentingan perempuan. Akibatnya banyak kebijakan dan perundangan yang kurang mendukung kepentingan perempuan.
Ada beberapa pendapat untuk menganalis mengapa perempuan secara kuantitatif dan kualitatif kurang mempunyai akses kedalam dunia politik. Pendapat-pendapat tersebut dianut oleh aliran-aliran feminis di Barat, seperti Feminis Liberal, Feminis Radikal, Feminis Sosialis, dll (Connel,1987: Macioni,1987). Dari berbagai pemikiran mereka, pada dasarnya ada dua pendapat yaitu. Pertama adalah mengatakan bahwa perempuan kurang berpartisipasi dalam politik karena kesalahan perempuan sendiri. Mereka benyak kekurangan, seperti: kurang pendidikan, kurang wawasan, kurang kemampuan untuk bersaing, sehinggga tidak memungkinkan mereka untuk terjun kedunia politik. Pendapat iini dianut oleh kaun feminis liberal.
Secara kritis, pandangan yang demikian ini tidak mengakar karena tidak mempersoalkan mengapa kaum perempuan banyak mempunyai kekurangan. Jalan keluar yang ditempuh untuk memperbaiki keadaan adalah menambah pengetahuan yang menjadi kekurangan perempuan . jika permpuan kurang pendidikan, maka pendidikan permpuan harus ditingkatkan terlebih dahulu, kalau kurang wawasan, maka wawasan mereka harus ditambah dengan berbagai cara, antara lain penyuluhan, penataran dll.
Pendapat kedua yang banyak dianut oleh feminis radikal maupun sosialis, pada dasrnya mengatakan bahwa penyebab kurangnya partisipasi perempuan adalah tidak adanya persamaan (inequality) struktur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Adanya hierarki antara mereka menyebabkan perempuan tertinggal. Dalam memperbaiki keadaan, perubahan struktur hubungan supaya mereka dapat lebih setara dan tidak hierarki lagi.
Dalam banyak hal kebudayaan secara tidak langsung mengemas ruang pembagian kerja yang sangat dikotomis dalam berpolitik ganda. Disatu sisi lain diberi gambaran bahwa dunia politik tidak sesuai dengan sifat alamiah perempuan yang lembut dan penuh kasih sayang, keibuan dsb. Ada anggapan bahwa keterlibatan perempuan di bidang politik seolah-olah akan mentelantarkan anak maupun suami. Hambatan-hambatan yang dialami kaum perempuan bukan hanya datang dari kultur atau kebudayan, akan tetapi agamapun dilibatkan dalam marginalisasi politik, misalnya dengan menguatnya kontrovensi mengenai boleh tidaknya perempuan berpolitik. Sebenarnya disebabkan karena perbedaan interpritasi/penafsiran agama yang masih bias gender. Agam Islam hakikatnya tidak melarang perempuan terlibat langsung dalam dunia politik.
  1. Partisipasi Perempuan dalam Politik
Secara etimologis pengertian partisipasi dapat diartikan kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijkan negara. Adapun menurut Huntington dan Nelson (1990) partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi dapat bersifat idividual atau kolektif, terorganisasi. Dengan demikian unsur penting dalam proses partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara dalam proses pembuatan keputusan oleh pemerintah. Hakikat partisipasi adalah kemandirian. Artinya setiap individu yang melakukan kegiatan partisipasi haruslah berasal dari diri sendiri. Bentuk partisipasi politik dapat dibeda-bedakan dalam bentuk yang konfensional, yaitu memberikan suara (votinng), diskusi politik kegiatan kampanye. Sedangkan yang bentuknya non konvensional meliputi pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi dsb (Masoed,1991: 46-49).
Isu partisipasi perempuan dalam politik dapat dikaji secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif dapat dilihat seberapa banyak perempuan yang berpartisipasi dalam kegiatan politik, dalam hal pembuatan keputusan yang berdampak langsung dengan hak kewajiban dan kepentingan perempuan.
Partisipasi perempuan Indonesia dapat dikatakan rendah kualitasnya disebabkan oleh rendahnya intensitas sosialisasi politik yang menyebabkan rendahnya pemahaman politik yang mereka miliki. Ini juga dapat disebabkan oleh budaya politik maupun non politik yang tidak menguntungkan. Menurut Almonf dan Verba (1965) sosialisasi politik merupakan bagian dari prosessosialisasi yang khusus membentuk nilai politik yang menunjukan bagaimana seharusnya masyarakat berpartisipasi dalam sistem politik. Jadi sosialisasi yang bersperktif perempuantentunya adalah proses yang mendukung perempuan berpartisipasi dalam sistem politik. Namun sosialisasi politik bagi perempuan tidak akan terlepas dari budaya baik pollitik maupun non politik.
Dalam sosialisasi politik yang berspektif perempuan yang perlu dikaji adalah
1.Pengambilan keputusan sebagai bentuk pola kekuasaan yang paling awal yang dapat dikaji dalam semua ajang sosialisasi
2.Distribusi hak dan kewajiban yang merupakan masalah klasik dalam ilmu politik
3.Peranan agama dalam sosialisasi budaya politik
4.Peranan ideologi patriarki dalam sosialisasi budaya politik
  1. Perempuan dalam Dunia Politik di Indonesia
Indonesia merdeka 65 tahun, akan tetapi dalam sejarah berpolitikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya, perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatannya di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan selalu dalam posisi domestik dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan terlambat memulai dalam berkiprah di dunia politik. Kenyataan menunjukan bahwa jumlah perempuan yang duduk di parlemen dan pembuatan keputusan politik di Indonesia sangat sedikit. Padahal jumlah penduduk Indonesia (BPS 2001) sekitar 57% dari jumlah penduduk Indonesia. Pada setiap pemilu jumlah perempuan yang terpilih berkisar 8% sampai dengan 10%. Pendaftaran dari pencalonan masing-masing kekuatan sosial politik dapat mencalonkan lebih dari 10% calon perempuan tetapi kenyataannya yang terpilih tidak lebih dari itu (Ayu,1991:55). Pada tabel berikut kita akan melihat komposisi jumlah perempuan di DPR selama ini.
Tabel 1: jumlah perempuan di DPR (1950-2004)
Masa kerja DPR
Perempuan
Jumlah anggota
Presentase (%)
1950-1955 (DPR Sementara
9
236
3,8
1955-1960
17
272
6,3
1956-1959
25
488
5,1
1971-1977
36
460
7,8
1977-1982
29
460
6,3
1982-1987
39
460
8,5
1987-1992
65
500
13,0
1992-1997
62
500
12,5
1997-1999
54
500
10,8
1999-2004
45
500
9,0

Dari sisi komposisi di atas keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan sangat dirasakan belum berimbang. Oleh karena itu keputusan-keputusan yang di buat oleh kaum maskulin kurang berspektif gender sehingga keputusan yang di hasilkan seringkali bias gender, tidak memperhatikan kepentingan kaum perempuan, tidak membuat perempuan semakin berkembang. Walaupun kuantitas perempuan di legislatif belum tentu menjamin peningkatan taraf hidup perempuan. Kenyataan di lapangan banyak kebijakan membuat perempuan tenggelam pada sektor-sektor yang sangat strategis hal ini mengakibatkan, posisi perempuan senantiasa berada pada posisi marginal. Oleh karena itu perlu upaya strategis untuk mengangkat keberadaan perempuan di bidang politik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menempatakan perempuan pada posisi strategis yaitu di kawasan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Dengan demikian perempuan akan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, termasuk memberikan pertimbangan-pertimbangan  yang mengedepankan kepentingan perempuan.


BAB 3
SIMPULAN
Pada era demokrasi sekarang ini marginalisasi perempuan di sektor politik masih sangat kentara. Penyudutan terhadap perempuan yang sudah mengakar dari bingkai atau ilustrasi budaya menjadikan perempuan sindrom sosial terhadap dunia politik. Kenyataan yang harus diantisipasi sedini mungkin adalah memberikan kesadaran politik kepada perempuan sebagai warga bangsa untuk terjun ke dunia politik.
Partisipasi perempuan masih lemah. Bahkan ketika perempuan secara individual mampu memperthankan posisinya dalam arena politik, yang kelihatannya tidak memiliki jaringan pendukung untuk dapat tampil dengan efektif. Mereka minim keterampilandan seringkali menjadi sarana tampilan gender daripada sebuah kekuatan politik sesungguhnya. Selain itu, institusi-institusi dan proses-proses yang mendorong, memfasilitasi atau mendukung partisipasi perempuan sebagai sosok yang dibutuhkan publik masih terbatas. Oleh karena itu, pertisipasi politik yang aktif dari perempuan dan kesadaran yang kritis haruslah memasukan kesadaran gender.
Hal lain yang penting diperhatikan dalam komteks kepemimpinan perempuan adalah apakah mereka dapat memenuhi strategic interest kelompok peempuan untuk dapat terlibat langsung dalan proses pengambilan keputusan. Proses politik ini harus berpengaruh terhadap kehidupan peempuan diberbagai tingkatan masyrakat, khususnya di tingkat grass roots. Yang perlu diperjuangkan adalah proses demokratisasi yang saat ini terjadi di Indonesia dapat mengikutsertakan perempuan. Sehinnga perempuan dapat mengorganisasikan dirinya dengan bebas, menentukan agendanya sendiri. Karena berorganisasi adalah salah satu langkah yang harus diambil perempuan dalam upaya mengubah relasi gender yang timpang.


Daftar Pustaka
Sugiarti dkk.2003. Pembangunan dalam Perspektif Gender, Malang : UMM Press
http:/Pengertian%20Politik.htm
Syukrie, erna. Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan

4 komentar:

  1. isi yang sudah sangat sempurna....
    menarik untuk dibaca.
    tampilannyapun sudah rapi...
    tingkatkan lagi kreatifitasmu kawan!!
    terima kasih.

    BalasHapus
  2. Materi sebenarnya sudah bagus,,
    hanya tulisan dari font dan warna font saya rasa kurang sesuai .. sayang kalau pembaca ingin membaca, tiba2 tidak jadihanya karena ukuran font yang kecil ..

    n_n

    BalasHapus
  3. Sociology and anthropology Education
    Hehehe terimakasih saran anda sangat membantu saya :)

    BalasHapus
  4. riskyariyani91
    terimakasih saran anda membantu dalam masa perbaikan.

    BalasHapus