Kamis, 01 Desember 2011

Peran Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA) dalam Proses Disarmament, Demobilitation, dan Reintegrasition (DDR) di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki 2005

Perjanjian damai antara pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani 15 Agustus 2005 di Smona, The Government Banquet Hall, Etalaesplanadi 6, Helsinki, Finlandia, merupakan perubahan besar sepanjang sejarah konflik di Aceh. Dengan terjadinya tsunami yang menewaskan ratusan ribu rakyat Aceh, rupanya membuka peluang dan mnyentuh hati para petinggi kedua pihak yang berkonflik untuk sepakat mengakhiri pertikaian yang sudah memakan korban puluhan ribu. Dalam kasus perundingan RI-GAM di Helsinki, momentumlah yang memegang peranan strategis.
Untuk menyelesaikan konflik di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), pemerintah RI sejak pemerintahan Presiden Suharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, dan dilanjutkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerapkan berbagai lankah/kebijakan yang kompreshif/terpadu dan berkesinambungan yang diarahkan pada penyelesaian masalah secara optimal sesuai dengan dinamika perkembangan dalam kurun waktu yang berjalan. Nota Kesepahaman di Helsinki merupakan prestasi atau hasil gemilang antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mengakhiri konflik Aceh secara menyeluruh, tentunya bangsa Indonesia merasa bangga dan gembira dengan bersatunya kembali keluarga bangsa Indonesia dalam pengakuan ibu pertiwi, dan masyarakat aceh merasa lega.
GAM telah menyerahkan 840 senjata, kemudian dari pihak RI memulangkan pasukan dan polisi 31.681 dari Provinsi NAD, dan GAM secara resmi ditarik. Misi monitoring Aceh dengan sukses mengawasi proses pelucutan, penampungan, demobilisasi, dan menyelidiki butir kesepakatan. Bagian tiga dari Nota Kesepahaman membantu proses reintegrasi mantan kombatan GAM dan tahanan politik (tapol) kedesa-desa dan masyarakat Aceh, yang meliputi “kemudahan ekonomi”, “rehabilitasi harta benda akibat konflik”, dan “alokasi tanah pertanian, pekerjaan, dan jaminan social” untuk mantan kombatan GAM, tapol serta masyarakat yang terkena dampak.Pemerintah (perubahan) tahun 2005 menyediakan dana reintegrasi sebesar 200 miliar dan melalui APBN tahun 2006 sebesar 600 miliar. Dana ini disalurkan ke badan integrasi Damai Aceh (BRDA) melalui department social (c.q. Dinas Sosial Aceh). Dalam pertemuan CoSA tanggal 21 Oktober 2005 disepakati satu ,mekanisme penyaluran dana reintegrasi. Yaitu pemerintah daerah menyerahkan dana reintegrasi kepada eks komandan kombatan local GAM atau wakil di bidang keuangan, dengan besaran jumlah eks kombatan GAM yang disampaikan pihak GAM.
Perdamaian yang tercapai antara GAM dengan pemerintahan RI menyisakan permasalahan para eks kombatan GAM. Para pejuang ini tidak mungkin keluar dari Aceh, melainkan mereka harus menyatu dengan masyarakat. Mereka juga tidak mungkin lagi untuk menangkat senjata, karena Aceh tetap menjadi bagian dari RI.
Tujuan DDR
Tujuan spesifik sebuah proses DDR berbeda antara satu Negara dengan Negara lain dan harus dinyatakan secara eksplisit karena tujuan-tujuan itu akan menentukan bagaimana bentuk proses reintegrasi tersebut dan seberapa besar dana yang tersedia untuk reintegrasi. Tujuan utama program DDR di Aceh dan memastikan  bahwa militer, berbagai lembaga kemanusian, dan lembaga pembangunan, serta para donor akan memberikan kontribusinya untuk tujuan yang sama.
Implementasi dan Hambatan di Bidang Ekonomi
1.Konflik bersenjata mengkikis asset-aset produktif baik di pedesaan maupun perkotaan, dan pelaku ekonomi formal maupun informal.
2.Konflik bersenjata menghancurkan tempat kerja dan memperlemah pasar kerja, pelatihan, dan lembaga-lembaga lain yang terkait dengan ketenagakerjaan.
3.Konflik bersenjata menghancurkan tanaman dan mungkin mengurangi produktifitas lahan melalui ranjau darat anti-personil.
4.Konflik bersenjata mengakibatkan kerusakan yang cukup berarti terhadap infrastruktur fisik, social, dan ekonomi, menghambat kesempatan kerja yang produktif, dan kegiatan-kegiatan yanh menghasilkan pendapatan. Jaringan perdagangan terhambat dan investasi di sector public dan swasta menurun.
Secara umum dipahami bahwa reintegrasi ekonomi, dan mencari pekerjaan, adalah salah satu tantangan utama, dan juga factor penentu keberhasilan DDR. Menciptakan lingkungan yang memungkinkan tersedianya lebih banyak pekerjaan yang lebih baik merupakan tantangan utama di Aceh. Hal ini memerlukan upaya yang sangat luas dan terkoordinasi dari Pemerintahan Indonesia, mitra-mitranya dan komunitas donor. Sesungguhnya, penciptaan kesempatan kerja harus menjadi inti  dari sebuah strategi yang komprehensif untuk mencapai perdamaian yang abadi, termasuk strategi DDR untuk Aceh.
Salah satu tantangan yang paling kompleks adalah bahwa komponen reintegrasi dalam program-program DDR harus dikaitkan dengan proses-proses pemulihan dan rekonstruksi social-ekonomi yang lebih luas. Memadukan DDR dengan rencana yang lebih luas untuk pemulihan dan rekonstruksi social-ekonomi Aceh memungkinkan pencapaian efek berganda (multiplier effects) ekonomi yang pentin dan kapasitas-kapasitas yan dihasilkan untuk tujuan pembangunan yang lebih luas. Hal ini memerlukan keterpaduan antaraktor DDR dan seluruh organisasi pemulihan dan pembangunan yang ada di lapanan untuk memastikan bukan hanya diperlukan keberlanjutan skema-skema reintegrasi untuk mantaN  GAM, tetapi juga adanya dampak ekonomi dari prakarsa-prakarsa tersebut (misalnya, penciptaan lapanan kerja, pelatihan kejuruan, kredit mikro, dan lain-lain) yang dapat memberikan kontribusi padaproses revitalisasi dan pemilihan ekonomi.Pelucutan, Demobilisasi dan Reintegrasi di Aceh yang lebih luas.Hal ini memberikan implikasi bahwa Pemerintah Indonesia akan menyususn sebuah mekanisme koordinasi yang efektif yang melibatkan seluruh kementrian yang terkait dengan reintegrasi seperti ketenagakerjaan, pendidikan, pelatihan, perdagangan, infrastruktur, dan lain sebagainya.
Implementasi dan Hambatan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Program-program DDR pada umumnya kekurangan alat-alat untuk  menegakkan aturan karena tidak adanya angkatan kepolisian local pada saat DDR dilaksanakan.Hal ini jelas memiliki konsekuensi-konskuensi yang sangat serius dalam pemberian bantuan reintegrasi.Contoh mengenai usaha kecil yang merupakan salah satu target pertama bagi kelompok-kelompok dan gang-gang bersenjata.Tanpa adanya beberapa tingkat keamanan local, tidak masuk akal jika para mantan gerilyawan dibantu untuk memulai bisnis mereka sendiri.
Implementasi dan Hambatan di Bidang Sosial dan Budaya
Reintegrasi adalah proses di mana mantan gerilyawan (dan orang-orang yang bergantung pada mereka) memasaki kehidupan sipil dan bergabung kembali dengan masyarakat sipil melalui komunitas (baru atau lama) mereka.Karena itu, program-program reintegrasi harus menitikberatkan perhatian baik pada mantan gerilyawan maupun komunitas penerima.
Profil pendidikan dan keterampilan para mantan gerilyawan hanya menggambarkan sebagian kecil citra identitas mereka,  mengabaikan factor-faktor seperti ambisi, rasa frustasi dan potensi mereka.
Evaluasi Keberhasilan BRDA
Program-program reintegrasi yang dicanangkan dan dilaksanakan oleh BRDA ternyata relative kurang optimal.hal ini disebabkan oleh beberapa kelemahan pada aspek hokum dan budget BRDA, serta kurangnya koordinasi dengan lembaga donor lainnya.
1.BRDA (bersama pemerintahan baru Aceh) mendorong pemerintah pusat untuk mengubah payung hukum pembentukan BRDA itu sendiri.
2.Sebagai konsenkuensi logis dari perubahan payung hukum tersebut, BRDA harus memiliki hak untuk mengelola anggaran sendiri.
3.BDRA bersama dengan berbagai stakeholder, termasuk lembaga-lembaga donor yang sangat berkepentingan dengan proses reintegrasi segara menyelesaiakan cetak-biru perdamaian dan pembangunan Aceh.

Analisis Teori Konflik LEWIS A.COSSER dengan “Peran Badan Damai Aceh (BRDA) dalam Proses Disarmament, Demobilitation, dan Reintegrasi (DDR) di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki 2005”
Penjelasan tentang teori konflik Simmel yang diambil dalam buku Beberapa Teori Sosiologis Seri Pengenalan Sosiologi 5 Georg Simmel halaman 63, sebagai berikut:
Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa.
Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.
Teori Konflik Lewis A. Coser
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain.
Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. Contohnya Badan perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi.Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.
Jadi setiap konflik pasti ada penyelesaiannya (Integrasi), Konflik antara pemerintah RI dan GAM dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Integrasinya berupa perjanjian damai antara pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani 15 Agustus 2005 di Finlandia. Mungkin jika tidak terjadi Tsunami di Aceh yang telah merenggut puluhan ribu korban, maka tidak akan ada yang mengakhiri pertikaian ini. Dengan ini ada penyelesaian lain yaitu menerapkan berbagai langkah dan kebijakan yang terpadu, dengan adanya kebijakan otonomi daerah, perbaiakan kondisi ekonomi pasca konflik dan kehidupan ekonomi selanjutnya.
Sekarang tinggal kita menyikapinya bagaimana, bagaimana kita tetap harus mempertahankan Negara kita agar tidak tercerai-berai, tentunya kita tidak ingin seperti dulu yang telah melepaskan Timor-timor merdeka. Menyadari jika Negara Indonesia adalah Negara kepulauan, beda daerah beda budaya (multikulturalisme). Maka semaksimal mungkin jangan sampai kita melepas satu persatu daerah kita hanya karena konflik yang seharusnya diselesaikan dengan baik bukan dengan meninggalkan serta menganggap sepele konflik tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar